Sultan Royal – Mayoritas negara-negara di Asia Tengah adalah negara dengan populasi Muslim, namun beberapa di antaranya mengambil sikap keras terhadap simbol-simbol pakaian Islami seperti hijab dan niqab. Contohnya, Kirgizstan yang baru-baru ini memberikan larangan hijab kepada penggunanya mulai 1 Februari 2025 dengan alasan keamanan dan identitas publik. Langkah ini mengikuti keputusan Tajikistan yang lebih dahulu melarang hijab pada Juni 2024. Fenomena ini memunculkan pertanyaan besar: mengapa negara-negara di Asia Tengah justru tampak sinis terhadap hijab, padahal mereka mayoritas Muslim?
Salah satu faktor utama yang memengaruhi sikap negara-negara ini terhadap hijab adalah warisan sejarah Uni Soviet. Pemerintahan Soviet yang sekuler keras menekan ekspresi agama, termasuk di Asia Tengah. Pada akhir 1920-an, pemerintah Soviet meluncurkan kampanye yang dikenal dengan nama Hujum, yang bertujuan memaksa wanita Muslim di kawasan tersebut untuk melepaskan hijab dan cadar mereka. Kampanye ini dilakukan dengan kekerasan, di mana wanita yang menolak dicerca, dipermalukan, bahkan dibunuh oleh kelompok milisi pro-pemerintah. Kebijakan ini bukan hanya sebagai gerakan emansipasi perempuan, tetapi juga merupakan bagian dari strategi politik untuk menghapuskan identitas Islam dari ruang publik.
Baca Juga : Pesona Alyssa Daguise dalam Balutan Hijab dan Kaftan di Jeddah
Sekularisme paksa yang diterapkan oleh Uni Soviet terus memengaruhi kebijakan di negara-negara Asia Tengah pasca kejatuhan Soviet. Negara-negara seperti Uzbekistan dan Tajikistan masih mempertahankan kebijakan sekuler yang membatasi ekspresi agama, termasuk penggunaan hijab. Ini menjadi bagian dari identitas negara yang dibentuk oleh warisan Soviet, di mana segala bentuk ekspresi agama dianggap sebagai ancaman terhadap integrasi nasional dan stabilitas politik.
Selain itu, ada kekhawatiran terkait modernisasi dan nasionalisme. Pemerintah di banyak negara Asia Tengah memandang hijab sebagai simbol dari konservatisme agama yang dapat menghambat modernisasi. Mereka khawatir bahwa pengaruh Islam politik, seperti yang terlihat di Iran atau Arab Saudi, akan menyebar ke kawasan tersebut. Dalam konteks ini, hijab sering dianggap sebagai simbol dari “Islam asing” yang tidak sesuai dengan nilai-nilai lokal dan nasional. Bahkan di Azerbaijan, hijab disebut sebagai “pakaian impor,” dan pejabat setempat menegaskan bahwa pakaian tradisional wanita Azerbaijan adalah kelagayi atau yaylig, bukan hijab atau niqab.
Tentu saja, kekhawatiran ini juga berkaitan dengan politik internal di negara-negara tersebut. Beberapa pemerintah di Asia Tengah merasa terancam oleh kelompok Islam politik yang berupaya mendirikan pemerintahan berdasarkan hukum syariah. Kelompok-kelompok seperti Hizb ut-Tahrir, yang mengusung ideologi Islam radikal, dianggap sebagai ancaman terhadap keamanan negara. Oleh karena itu, kebijakan pelarangan hijab sering kali dikaitkan dengan upaya pemerintah untuk melawan ekstremisme dan menjaga stabilitas politik. Namun, dalam banyak kasus, pelarangan ini justru memperburuk polarisasi antara pemerintah yang mendukung sekularisme dan kelompok Islam konservatif yang merasa kebebasannya dibatasi.
Di sisi lain, pelarangan hijab di negara-negara Asia Tengah juga berimbas pada kehidupan sosial dan ekonomi wanita. Di Kirgizstan, misalnya, banyak wanita yang mengenakan niqab kini memilih untuk tidak keluar rumah untuk menghindari denda atau stigma sosial. Sementara di Tajikistan, ribuan wanita yang mengenakan hijab menghadapi diskriminasi dalam dunia kerja dan pendidikan. Larangan hijab ini semakin memperburuk ketegangan antara kebijakan negara yang mengutamakan sekularisme dan hak individu untuk bebas beragama.
Secara keseluruhan, melarang hijab di negara-negara Asia Tengah bukan hanya soal kebijakan sekuler. Tetapi juga merupakan bagian dari warisan politik dan strategi geopolitik. Pemerintah menganggapnya sebagai cara untuk melindungi identitas nasional dari pengaruh luar. Sementara bagi banyak warga Muslim, ini adalah bentuk pembatasan kebebasan beragama. Dengan latar belakang sejarah yang panjang, perdebatan tentang hijab ini tampaknya akan terus berlanjut, mencerminkan ketegangan antara tradisi, modernitas, dan politik dalam masyarakat Asia Tengah.
Simak Juga : NHTSA Selidiki Masalah Kamera pada 129.000 Kendaraan Honda