Sultan Royal – Video dari merek fesyen asal Belanda, yaitu iklan Merrachi, memicu kontroversi setelah menampilkan Menara Eiffel dalam balutan jilbab. Iklan animasi yang dipublikasikan di TikTok ini secara khusus menargetkan konsumen Muslim dan menandai peluncuran merek tersebut di Prancis.
Kejadian tersebut dianggap menyindir kebijakan pemerintah Prancis terkait pembatasan busana Muslim, sehingga menimbulkan reaksi keras dari politikus sayap kanan. Lisette Pollet, anggota parlemen dari National Rally, menyatakan bahwa iklan ini menghina nilai-nilai Prancis. Menurutnya, Menara Eiffel sebagai simbol nasional tidak seharusnya digunakan dalam kampanye yang dianggap provokatif.
Jerome Buisson, politikus dari partai yang sama, mengkritik iklan ini sebagai provokasi politik yang tidak dapat diterima. Sementara itu, Philippe Murer, seorang ekonom dan pendiri Citizen Political Movement. Menyerukan pelarangan toko-toko Merrachi di Prancis serta pemblokiran akses ke situs web mereka.
Di sisi lain, sejumlah pengguna media sosial memuji strategi pemasaran Merrachi yang dinilai kreatif dan mampu menarik perhatian luas. Beberapa dari mereka menganggap iklan ini sebagai cara efektif untuk menyoroti kebijakan negara yang dianggap membatasi kebebasan beragama wanita Muslim.
Kontroversi ini membuat merek iklan Merrachi semakin dikenal. Strategi pemasarannya yang menonjolkan warisan Islam tampaknya berhasil menarik perhatian pasar busana sopan yang berkembang di Prancis. Berdasarkan data dari Institut Statistik dan Studi Ekonomi Nasional (INSEE), penggunaan jilbab di kalangan wanita Muslim Prancis meningkat sebesar 55 persen dalam satu dekade terakhir. Hal ini menunjukkan peluang besar bagi merek seperti Merrachi.
Meskipun menuai kritik, iklan tersebut memicu diskusi luas mengenai sekularisme, identitas budaya, dan kebebasan beragama di Prancis. Media Free Press Journal melaporkan bahwa masih belum diketahui apakah kampanye ini akan membawa keuntungan komersial atau justru meningkatkan pengawasan dari pihak berwenang.
Baca Juga : Enzy Storia: Potret Perjalanan Ibadah dan Kenangan Ramadan
Judul iklan yang provokatif, “Apakah Anda ingat ketika mereka melarang jilbab?”, juga memicu perdebatan. Beberapa pihak berpendapat bahwa pernyataan ini menyesatkan, karena jilbab tidak sepenuhnya dilarang di Prancis, meskipun terdapat beberapa pembatasan.
Sejak 2004, Prancis telah melarang simbol-simbol keagamaan yang mencolok di sekolah-sekolah dan rumah sakit milik negara. Kebijakan ini diyakini berdampak pada wanita Muslim yang mengenakan jilbab. Pada 2010, larangan cadar atau niqab di tempat umum diberlakukan. Kemudian, pada 2023, pemerintah melarang penggunaan abaya di sekolah-sekolah. Aturan baru yang dikeluarkan pada 2024 juga melarang atlet Prancis mengenakan jilbab dalam kompetisi Olimpiade Paris.
Prinsip sekularisme Prancis, atau laïcité, menekankan pemisahan antara negara dan agama. Namun, beberapa akademisi dan aktivis hak asasi manusia menilai bahwa kebijakan ini sering digunakan untuk menekan komunitas Muslim. Kontroversi mengenai busana Muslim ini juga terlihat pada Olimpiade 2024, ketika aturan larangan bagi atlet berhijab mendapat kritik dari berbagai pihak.
Kantor Urusan Hak Asasi Manusia PBB sebelumnya telah menyatakan bahwa tidak ada pihak yang boleh memaksakan atau melarang wanita dalam memilih busana mereka. Juru bicara Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia PBB, Maria Hurtado, menegaskan bahwa negara harus memastikan kebijakan mereka tidak mendiskriminasi kelompok tertentu.
Hurtado juga menambahkan bahwa pembatasan terhadap ekspresi keagamaan hanya dapat diterapkan dalam kondisi tertentu, seperti untuk alasan keselamatan publik atau ketertiban umum. Ia menyoroti bahwa kebijakan yang membatasi pilihan pakaian berbasis agama harus proporsional dan memiliki dasar yang kuat dalam hukum hak asasi manusia.
Menteri Olahraga Prancis, Amelie Oudea-Castera, menjelaskan bahwa larangan atlet berhijab dalam Olimpiade bertujuan menjaga sekularisme dalam olahraga. Menurutnya, aturan ini memastikan bahwa semua bentuk dakwah dilarang di ruang publik, termasuk dalam kompetisi internasional.
Kontroversi ini mencerminkan ketegangan yang terus berlangsung di Prancis mengenai identitas nasional dan kebebasan beragama. Perdebatan tentang batasan sekularisme dan hak individu diperkirakan akan terus berlanjut seiring dengan meningkatnya kesadaran akan hak-hak perempuan Muslim dalam memilih busana mereka sendiri.
Simak Juga : Pemerintahan Trump Pekerjakan Kembali Ribuan Pegawai Usai Putusan Pengadilan