
Sultana Royal – sejarah kerudung di Nusantara memperlihatkan pergeseran fungsi kain penutup kepala dari pelengkap busana tradisional menjadi simbol identitas, praktik keagamaan, dan tren fesyen yang terus berubah.
Jauh sebelum istilah hijab populer, masyarakat kepulauan Indonesia sudah akrab dengan kain panjang yang dipakai serbaguna. Selendang, kain, dan penutup kepala hadir sebagai bagian dari tata busana untuk kebutuhan praktis sekaligus estetika. Di banyak wilayah, kain digunakan untuk melindungi kepala dari panas, menahan rambut saat bekerja, atau menambah wibawa ketika menghadiri upacara.
Dalam konteks adat, penutup kepala sering terkait status sosial dan tata krama. Pada sejumlah tradisi Jawa, misalnya, kain dan penataan rambut menandai fase kehidupan serta situasi acara. Di Sumatra dan Kalimantan, berbagai bentuk kain dan ikatan kepala hadir dalam ragam motif lokal. Karena itu, pembacaan sejarah kerudung di Nusantara tidak bisa dilepaskan dari kebiasaan berpakaian yang telah mapan: kain bukan sekadar benda, tetapi bahasa simbolik.
Selain itu, jalur perdagangan antarpulau membuat bahan tekstil dan teknik pewarnaan berkembang. Kain impor dari India, Tiongkok, dan kemudian Timur Tengah berinteraksi dengan tenun lokal. Akibatnya, model kain penutup kepala juga ikut berubah mengikuti ketersediaan bahan, selera estetika, dan norma kesopanan setempat.
Masuknya Islam ke berbagai pelabuhan penting sejak abad ke-13 membawa perubahan bertahap pada praktik berpakaian. Namun, perubahan itu tidak berlangsung seragam. Di pesisir yang aktif berdagang, pengaruh baru sering cepat diterima, sementara wilayah pedalaman cenderung mengadaptasi dengan ritme berbeda. Karena itu, sejarah kerudung di Nusantara memotret proses akulturasi, bukan pergantian instan.
Kerudung sebagai penutup kepala perempuan mulai mendapatkan makna baru: bukan hanya aksesori, tetapi juga penanda kesalehan dan kepatuhan pada norma komunitas. Meski begitu, bentuknya tetap beragam. Ada yang berupa kain tipis disampirkan, ada pula yang menutup lebih rapat sesuai tradisi pesantren dan lingkungan religius yang kuat. Di sisi lain, sebagian komunitas mempertahankan gaya lokal, memadukan penutup kepala dengan kebaya, baju kurung, atau busana daerah.
Pengaruh agama lain juga ikut membentuk norma kesopanan di ruang publik, terutama dalam situasi seremonial. Di beberapa daerah, praktik menutup kepala dapat muncul sebagai etiket saat memasuki ruang ibadah atau menghadiri acara adat. Sementara itu, hubungan kekerabatan dan aturan komunitas sering menentukan sejauh mana penutup kepala dianggap perlu.
Periode kolonial membawa sistem pendidikan, birokrasi, serta ruang publik baru yang mengubah cara orang memandang pakaian. Bagi sebagian perempuan, akses sekolah dan pekerjaan memunculkan kebutuhan busana yang praktis. Pada saat yang sama, gagasan “modern” sering dipertentangkan dengan simbol-simbol tradisi dan agama. Meski begitu, adaptasi tetap berjalan melalui kompromi: kain penutup kepala dipilih sesuai kebutuhan aktivitas dan norma keluarga.
Di kota-kota besar, majalah dan iklan memperkenalkan mode global, termasuk gaya rambut dan busana Eropa. Namun, di banyak komunitas, kerudung tetap bertahan karena dianggap selaras dengan nilai kesopanan. Setelah itu, muncul kebiasaan memadukan pakaian modern dengan penutup kepala yang lebih sederhana, misalnya kain yang disematkan dengan peniti atau bros.
Baca Juga: Sejarah dan makna hijab dalam berbagai masyarakat
Memasuki akhir abad ke-20, penggunaan kerudung di lingkungan sekolah, kampus, dan tempat kerja menjadi bagian dari perubahan sosial yang besar. Kebijakan institusi, dinamika organisasi keagamaan, serta perdebatan tentang kebebasan berekspresi ikut mempengaruhi penerimaan masyarakat. Meski begitu, banyak perempuan mengadopsi penutup kepala sebagai pilihan personal yang terkait kenyamanan, keyakinan, atau identitas.
Seiring berkembangnya industri tekstil dan ritel, pilihan bahan semakin luas: katun, sifon, voal, hingga jersey. Perubahan ini membuat gaya pemakaian lebih variatif dan mudah diikuti. Di media, muncul figur publik dan komunitas yang memperkenalkan tutorial pemakaian kerudung. Bahkan, hijab berkembang menjadi ranah kreatif yang menghasilkan tren warna, motif, dan aksesori.
Dalam fase ini, sejarah kerudung di Nusantara semakin terasa relevansinya karena menunjukkan satu pola penting: budaya berpakaian di Indonesia selalu bergerak melalui pertemuan tradisi lokal dan pengaruh luar. Namun, tren kontemporer juga memunculkan tantangan, seperti tekanan sosial untuk mengikuti gaya tertentu atau standardisasi “pantas” yang berbeda di tiap lingkungan.
Hari ini, pemakaian kerudung tidak tunggal maknanya. Bagi sebagian perempuan, ia menjadi ekspresi spiritual. Bagi yang lain, ia hadir sebagai pilihan gaya yang tetap berusaha selaras dengan norma keluarga dan komunitas. Di pasar, brand lokal mendorong ekonomi kreatif lewat inovasi bahan, desain, dan kampanye yang menonjolkan kenyamanan.
Selain itu, diskusi publik tentang representasi perempuan turut mempengaruhi persepsi. Di satu sisi, ada dorongan untuk menghormati pilihan berpakaian apa pun. Di sisi lain, wacana identitas kadang memunculkan polarisasi. Karena itu, memahami sejarah kerudung di Nusantara membantu melihat bahwa keragaman praktik adalah hal yang wajar, karena setiap daerah punya lintasan budaya sendiri.
Ke depan, tren berkelanjutan (sustainable) dan produksi etis diperkirakan semakin kuat. Konsumen mulai menilai asal bahan, proses produksi, dan dampak lingkungan. Sementara itu, desainer terus mengeksplorasi potongan yang lebih fungsional untuk aktivitas harian. Meski begitu, akar tradisi tetap menjadi sumber inspirasi, mulai dari motif tenun hingga cara menyampirkan kain yang diwariskan turun-temurun.
Pada akhirnya, sejarah kerudung di Nusantara menegaskan satu hal: penutup kepala di Indonesia bukan sekadar tren sesaat, melainkan bagian dari perjalanan panjang budaya, agama, dan modernitas yang saling mempengaruhi.