Sultan Royal – Dalam dua dekade terakhir, hijab telah menjadi bagian penting dalam kehidupan banyak perempuan Muslim di Indonesia. Meskipun penggunaannya semakin umum, perdebatan tentang hijab masih terus berlangsung hingga kini. Sejarah menunjukkan bahwa hijab di Indonesia telah dikenal sejak abad ke-17, tetapi penerapannya dan maknanya terus berubah seiring waktu.
Isu pemaksaan penggunaan hijab menjadi salah satu sumber kontroversi. Seorang kepala sekolah di Riau pernah dikritik karena mewajibkan siswi non-Muslim mengenakan hijab. Di sisi lain, publik juga dikejutkan oleh peristiwa pada Asian Para Games 2018, ketika seorang atlet judo asal Aceh didiskualifikasi karena memilih bertanding dengan hijab. Peristiwa-peristiwa ini memicu diskusi luas tentang hak individu dan ekspresi keagamaan.
Secara ekonomi, tren pemakaian hijab membuka peluang besar dalam industri busana Muslim. Walaupun tidak ada data pasti tentang jumlah pengguna hijab di Indonesia, sebuah survei tahun 2014 menyebutkan bahwa lebih dari 60% responden Muslimah sudah memakai hijab dan berencana terus menggunakannya. Tren ini mendorong pertumbuhan pesat bisnis busana Muslim. Di Bandung, omzet pasar hijab meningkat dari Rp 3 miliar pada 2012 menjadi Rp 15 miliar pada 2018. Nilai ekspor busana Muslim Indonesia pada 2014 mencapai US$7,18 miliar, menjadikan Indonesia sebagai salah satu eksportir terbesar di dunia.
Model hijab yang digunakan juga beragam. Ada hijab sederhana yang panjangnya sebahu dan sangat populer di kalangan Muslimah. Jenis ini dikenakan oleh sekitar 70% pengguna hijab. Ada juga hijab konservatif yang lebih tertutup dan disebut hijab syar’i, dikenakan oleh sekitar 10% Muslimah. Di samping itu, hijab modis dengan variasi gaya dan harga dipilih oleh kalangan menengah ke atas. Selebriti dan influencer turut mempopulerkan hijab sebagai bagian dari gaya hidup. Salah satu yang berperan besar adalah Dian Pelangi, desainer yang turut mendirikan Hijaber Community pada 2010. Komunitas ini kini memiliki ribuan anggota di berbagai kota besar.
Baca Juga : Mengenakan Jilbab: Kapan Usia yang Tepat bagi Anak Perempuan
Dalam sejarahnya, penggunaan hijab di Indonesia mulai terlihat di Sulawesi Selatan pada abad ke-17. Penyebarannya meluas, terutama sejak berdirinya organisasi Aisyiyah pada awal 1900-an. Menariknya, banyak tokoh perempuan Muslim pada masa lalu tidak mengenakan hijab. Ini menunjukkan bahwa penggunaan hijab merupakan keputusan pribadi, bukan kewajiban mutlak.
Pada masa Orde Baru, pemerintah sempat melarang hijab di sekolah-sekolah. Alasannya, hijab dianggap sebagai simbol politik asing yang tidak sesuai dengan budaya lokal. Namun, seiring reformasi, hijab kembali diterima dan bahkan menjadi tren. Dua organisasi Islam besar, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, mendukung hijab sebagai busana ideal bagi Muslimah.
Alasan pemakaian hijab pun beragam. Sebagian besar Muslimah mengenakannya sebagai bentuk ekspresi keagamaan dan identitas diri. Ada pula yang mempertimbangkan kenyamanan, keamanan, bahkan alasan politis. Beberapa politikus perempuan misalnya, memakai hijab untuk membangun citra religius.
Meskipun kini perempuan lebih bebas memakai hijab, tekanan tetap muncul, baik dari institusi maupun masyarakat. Contohnya, kebijakan dari Kementerian Dalam Negeri yang mewajibkan hijab dimasukkan ke dalam seragam sempat menimbulkan protes hingga akhirnya dicabut. Selain itu, sebagian kelompok konservatif menilai hanya satu jenis hijab yang benar secara syariat. Namun, kelompok progresif menolak pandangan ini karena dianggap membatasi kebebasan perempuan.
Penggunaan hijab di Indonesia seharusnya dilihat sebagai pilihan pribadi. Sejarah menunjukkan bahwa para perempuan Indonesia dulu pun bebas memilih apakah ingin memakai hijab atau tidak. Oleh karena itu, setiap perempuan berhak menentukan sendiri cara berpakaian yang sesuai dengan keyakinan dan kenyamanannya, tanpa tekanan dari siapa pun.
Simak Juga : Perpecahan Internal Partai Republik